“Ah lebay”
Begitulah komentar spontan saya ketika membaca judul sebuah laporan yang berbunyi “Panen dengan Darah Kami: Bahaya Buruh Anak di Pertanian Tembakau di Indonesia”. Laporan dengan tanggal rilis 25 Mei 2016 tersebut merupakan hasil investigasi yang dilakukan Human Right Watch (HRW) mengenai kondisi ribuan anak di Indonesia yang dipekerjakan demi keuntungan industri rokok. Laporan juga terbit dalam bahasa Inggris yang diberi judul serupa “The Harvest is in My Blood: Hazardous Child Labor in Tobacco Farming in Indonesia”.
Nama besar HRW membuat saya penasaran ingin membaca keseluruhan isi laporan. Begitu selesai membaca, saya menyadari sesuatu. Komentar spontan seperti yang saya ceritakan di paragraf pertama sepertinya harus saya tarik kembali, karena judul laporan memang benar-benar menggambarkan isi laporan.
“Panen dengan Darah Kami” mendokumentasikan bagaimana anak-anak yang bekerja secara langsung di pertanian tembakau menderita gejala yang konsisten akibat keracunan nikotin akut, berurusan dengan bahan kimia beracun, terluka karena benda tajam, pingsan saat bekerja dalam kondisi panas ekstrem, dan beragam bahaya lain. Kondisi ini menempatkan anak-anak dalam risiko kesehatan jangka pendek dan jangka panjang. HRW merangkumnya berdasarkan penelitian secara luas termasuk wawancara dengan 132 anak usia 8-17 tahun yang dilaporkan bekerja di pertanian tembakau. Sebagian besar mulai bekerja sejak usia 12 tahun, sepanjang musim tanam, di lahan-lahan kecil yang diolah oleh keluarga atau tetangga mereka.
Hasil penelitian HRW di empat provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat mengungkapkan bahwa penyebab anak bekerja di pertanian tembakau adalah karena faktor kemiskinan dan tradisi. Banyak anak mengatakan, mereka bekerja karena ingin membantu keluarga menghemat pengeluaran untuk membayar buruh. Beberapa anak lain memakai penghasilan dari bekerja di ladang tembakau untuk membantu keluarga, misalnya membeli makanan dan kebutuhan dasar lain. Selain kemiskinan, budaya keterlibatan anak dalam kegiatan pertanian tembakau turut menjadi pemicu munculnya pekerja anak.
Kerangka Hukum dan Kebijakan Pekerja Anak di Indonesia
Indonesia memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang tegas tentang pekerja anak. Beberapa konvensi Internasional mengenai buruh anak, termasuk Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Konvensi ILO tentang Usia Minimum untuk Bekerja, dan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja menyebutkan bahwa usia minimal anak diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun. Selanjutnya Pasal 69 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa anak-anak usia 13-15 tahun hanya boleh melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, atau sosial mereka. Pasal 74 Undang-undang Ketenagakerjaan juga melarang anak di bawah usia 18 tahun melakukan pekerjaan berbahaya, termasuk bekerja di lingkungan “dengan zat kimia berbahaya”.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235 Tahun 2003 tentang Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan, dan Moral Anak merinci jenis-jenis pekerjaan berbahaya yang dilarang bagi anak-anak Indonesia. Daftar pekerjaan tersebut memang tidak menyebut secara spesifik larangan anak bekerja menangani tembakau. Namun temuan HRW yang menunjukkan betapa berbahayanya pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan tembakau, cukup membuktikan bahwa pekerjaan ini harus dilarang untuk semua anak.
Langkah ke Depan
Pemerintah memang memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi anak-anak dari pekerjaan-pekerjaan berbahaya, namun perusahaan rokok dan masyarakat juga harus turut membantu pemerintah mewujudkan hal tersebut. Bukankah gotong royong mempermudah penyelesaian masalah?
Pemerintah berkewajiban memperkuat penegakan hukum terkait pekerja anak. Pemerintah harus menyelidiki dan memantau dengan ketat pekerja anak di pertanian tembakau skala kecil. Hal ini perlu dilakukan mengingat laporan HRW mengungkapkan bahwa Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi hanya melakukan pengawasan buruh di industri pertanian skala besar, bukan di sektor pertanian skala kecil tempat bekerja hampir seluruh anak yang diwawancarai HRW.
Perusahaan rokok punya tanggung jawab memastikan bahwa operasional bisnisnya tidak menggunakan atau turut berkontribusi memakai buruh anak, sesuai dengan bunyi Pasal 68 Undang-undang Ketenagakerjaan yang secara tegas menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Bentuk tanggung jawab tersebut harus dituangkan dalam kebijakan perusahaan yang menetapkan bahwa pekerjaan berbahaya bagi anak di bawah umur 18 tahun harus dilarang, termasuk setiap pekerjaan yang menuntut anak-anak berkontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun. Kebijakan harus diikuti dengan upaya penegakan yang maksimal. Perusahaan rokok juga harus rutin melaporkan secara rinci dan terbuka mengenai upaya apa saja yang telah mereka lakukan dalam mencegah pekerja anak.
Pemerintah bersama-sama dengan perusahaan rokok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus melakukan usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya mencegah anak putus sekolah dan melindungi anak dari resiko pekerjaan berbahaya, terutama resiko paparan nikotin dan pestisida bagi anak yang bekerja di pertanian tembakau.
Terakhir, kesadaran dan partisipasi masyarakat khususnya keluarga anak sangat diperlukan. Keberhasilan upaya penghentian pekerja anak yang dilakukan baik oleh pemerintah, perusahaan rokok, ataupun LSM sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi keluarga. Selama keluarga tetap terkungkung dalam cara pandang yang keliru bahwa anak merupakan faktor produksi tenaga kerja, maka eksploitasi terhadap anak akan terus berlanjut. Akibatnya, akan tetap ada banyak tangan mungil yang terus merawat daun tembakau, tanpa mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan memiliki konsekuensi seumur hidup bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka.
Ditulis oleh Apriliani K. (Relawan Sahabat Kapas).
Foto dalam artikel ini adalah foto karya Marcus Bleasdale untuk Human Rights Watch.
——-
Badan Pusat Statistik. 2012. Profil Anak Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Human Right Watch. 2016. Panen dengan Darah Kami: Bahaya Pekerja Anak dalam Perkebunan Tembakau di Indonesia. Amerika Serikat: Human Right Watch.